BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada masa reformasi ini, pendidikan
di Indonesia tetap membutuhkan perbaikan dan peningkatan mutu. Salah satunya
dengan melalukan inovasi-inovasi pendidikan, untuk memajukan kualitas pendidikan di Indonesia. Apalagi pada masa globalisasi yang menuntut kita untuk mampu bersaing di tengah-tengah bangsa lain yang mungkin lebih maju, baik dalam hal pendidikan,
maupun ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sebab, jika kita tidak mampu bersaing dan mengikuti perkembangan jaman, maka generasi muda
tidak mampu mengembangkan potensi yang
ada dalam bangsa dan negara, baik sumber daya manusia, maupun sumber daya alam untuk kesejahteraan bangsa. Maka
dalam hal ini inovasi pendidikan sangat dibutuhkan.
Perkembangan teknologi dan informasi yang
begitu cepat merambah kedalam berbagai aspek kehidupan tanpa terkecuali dalam
bidang pendidikan merupakan suatu upaya untuk menjembatani masa sekarang dan
masa yang akan datang dengan jalan memperkenalkan pembaharuan-pembaharuan yang
membawa kecenderungan menuju efisiensi dan efektifitas.
Suatu pembaharuan berjalan seiring dengan
perputaran zaman yang tidak ada hentinya dan terus berputar sesuai dengan batas
waktu yang ditentukan. Dalam hal ini kebutuhan mengenai layanan individual
terhadap peserta didik dan segala macam perbaikan terhadap kesempatan belajar
bagi mereka telah menjadi faktor pendorong utama timbulnya suatu pembaharuan
dalam pendidikan. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam suatu instansi atau
lembaga pendidikan harus mampu mengatasi perkembangan tersebut dengan selalu
mengupayakan suatu program yang sesuai dengan perkembangan anak, perkembangan
zaman, situasi, kondisi dan kebutuhan peserta didik.
1.2
Rumusan
Masalah
Dari latar
belakang di atas kami dapat memaparkan beberapa rumusan masalah yang akan kita
bahas pada penulisan makalah ini antara lain:
1.
Apa
pengertian inovasi pendidikan?
2.
Apa saja model-model
inovasi pendidikan?
3.
Bagai mana
peran guru dalam inovasi pendidikan?
4.
Bagaimana kinerja
inovatif guru?
1.3
Tujuan
Dari rumusan
masalah diatas menjadi landasan tujuan penulisan makalah, diantaranya adalah:
1.
Membahas
tentang pengertian inovasi Pendidikan
2.
Mengupas
tentang model-model inovasi guru
3.
Membahas
peran guru dalam inovasi Pendidikan
4.
Memaparkan
kinerja inovatif guru
BAB
PEMBAHASAN
2.1
Inovasi Pendidikan
Inovasi pendidikan secara sederhana dapat
dimaknai sebagai inovasi dalam bidang pendidikan. Menurut Ibrahim, (1988 : 51)
inovasi pendidikan ialah suatu ide, barang, metode, yang dirasakan atau diamati
sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) baik
berupa hasil invensi atau discovery, yang digunakan untuk mencapai tujuan
pendidikan atau memecahkan masalah pendidikan. Dengan demikian inovasi
diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan/pembelajaran, ini berarti
bahwa inovasi apapun yang tidak dapat meningkatkan kualitas pendidikan/ pembelajaran
tidak patut untuk diadopsi, dan dalam konteks ini peran guru akan sangat
menentukan dalam adopsi inovasi pada proses pendidikan/pembelajaran Oleh karena
itu dalam menyikapi suatu inovasi, diperlukan suatu pemahaman yang baik tentang
substansi inovasinya itu sendiri, hal ini dimaksudkan agar inovasi dapat
benar-benar memberi nilai tambah bagi kehidupan.
Dengan mengingat hal tersebut, maka dunia
pendidikan sebagai suatu sub sistem kehidupan masyarakat perlu menyikapi dengan
terbuka berbagai inovasi yang ada dalam dunia pendidikan, maupun yang terjadi
dalam bidang kehidupan lainnya untuk berupaya mengintegrasikannya agar dapat
dicapai suatu kondisi pendidikan yang tidak tertinggal dengan perubahan yang
terjadi di masyarakat sebagai akibat akumulasi inovasi.
Namun demikian situasi di dunia
pendidikan seperti sekolah, menurut penelitian Kim E. Dooley (Jurnal
Educational Technology & Society 2 (4) 1999.www.careo.org) cenderung sulit/lambat
berubah seperti terlihat dari pernyataan berikut:
“The past three decades have been characterized by
extreme sosial, political, economic, and technological changes; but schools
have not changed their basic organizational structure. Recognition that the
curriculum and methodology of the past are unsuited for today’s world has
prompted a call for a restructuring of education. We are currently in the
“third wave” era (Toffler, 1981), the post-industrial information age in which
change continuously takes place at all levels of society”.
Kesulitan atau kelambatan berubah telah
menjadikan dunia pendidikan banyak tertinggal dari perkembangan yang terjadi
dalam bidang kehidupan lainnya seperti dunia bisnis, dimana inovasi telah
menjadi nyawa yang menentukan bagi kehidupan bisnis, kajian-kajian tentang
inovasi di bidang pendidikan banyak dilakukan, meskipun kontribusinya pada
pemahaman teoritis tentang difusi inovasi tidak begitu penting, hal ini tidak
lain karena sebagian besar keputusan inovasi bersifat kolektif dan berdasarkan
otoritas, dan kurang dilakukan secara individual (optional innovation decision)
(Rogers, 1983:62).
Menurut House (1974) dalam proses
penyebaran inovasi, kontak personal mempunyai kedudukan yang penting dalam
difusi atau komunikasi inovasi, Kontak personal is essential to the propagation
of innovation. Lebih jauh House membagi inovasi ke dalam dua jenis dengan
masing-masing mempunyai kelompok pemerannya sendiri-sendiri yaitu :
1.
Household innovation.
Inovasi Rumah tangga (household) merupakan inovasi
individu, seperti inovasi guru di kelas, dan bisaanya tersebar dari individu ke
individu.
2.
Entrepeneurial innovation.
Inovasi entrepreneur adalah inovasi yang mempunyai akibat langsung bagi orang
lain diluar adopter nya.
Lebih jauh House (1974) menyatakan bahwa
praktisi Pendidikan dapat dikelompokan ke dalam dua kelompok yaitu 1)
Administrator (Principal/kepala sekolah dan Superintendent/pengawas), dan 2)
Teacher. Dalam hal penerimaan atau sikap terhadap perubahan dan inovasi dua
kelompok ini mempunyai pandangan dan sikap yang tidak selalu sama, karena peran
yang dimainkan dalam melaksanakan kegiatan pendidikan berbeda dan lingkungan
kerja yang sering dijalani masing-masing juga berbeda. Administrator (Kepala
dan Pengawas) lebih mudah menerima inovasi dibanding guru, inovasi oleh
administrator merupakan inovasi entrepreneur, sedang inovasi oleh Guru adalah
inovasi household. Lebih mudahnya inovasi oleh Administrator dibanding oleh
Guru dikarenakan hal-hal berikut (House, 1974):
1.
Sosial interaction inhibit
diffusion across professional boundaries
2.
Teacher remain isolated in
classroom which does not enhance the diffusion of new idea within the
profession
3.
Never adopt innovation as a
whole, only bits and pieces
4.
Passive adopter
Sulitnya inovasi yang dilakukan oleh guru
yang bergerak di tataran teknis, jelas akan memberi pengaruh pada efektivitas
pembaharuan/inovasi pendidikan dalam berbagai tingkatannya, baik tataran
institusi maupun tataran manajerial. Oleh karena itu kebijakan inovasi
pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan perlu mencermati
kondisi ini, artinya dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan melalui
peningkatan kualitas profesionalisme Pendidik/guru perlu terintegrasi dengan
upaya melakukan reformasi pada tataran institusi dan manajerial, sehingga
terjadi suatu interaksi yang kondusif bagi tumbuhnya kreativitas, kinerja
inovatif yang terlembagakan dalam suatu organisasi sekolah, ini berarti
diperlukan upaya untuk melakukan restrukturisasi sekolah yang dapat menciptakan
organisasi sekolah yang selalu antisipatif dan terbuka pada perubahan, menurut
Kim E. Dooley (Jurnal Educational Technology & Society 2(4) 1999,
www.careo.org)
“Restructuring our schools involves deep and profound
changes in the way the schools function. Restructuring defines what goes on
within classrooms–rethinking the way teachers teach, the way students learn,
and the way we assess them. Restructuring also involves a change in the way
schools are organized. Such reorganization requires redefining the roles of
teachers, administrators, parents, and students in the governance and
management of schools”
Esensi dari restrukturisasi pada
kelembagaan sekolah adalah kesiapannya untuk berubah, dengan perubahan tersebut
fungsi sekolah juga akan berubah yang berakibat pada perubahan dalam
pembelajaran serta pengorganisasian sekolah. Kegiatan tersebut pada dasarnya
merupakan suatu proses dan bukan suatu kejadian, sehingga diperlukan upaya yang
terus menerus untuk menilai berbagai perubahan yang telah terjadi agar tetap
adaptif terhadap tuntutan perubahan yang terjadi di masyarakat, serta berbagai
inovasi yang terus berakumulasi yang perlu mendapat perhatian dari Lembaga
Pendidikan, Hall dalam Kim E Dooley (Jurnal Educational Technology &
Society 2(4) 1999, www.careo.org) menyatakan:
“Change is a process rather than an event and should be
examined by the various motivations, perceptions, attitudes, and feelings
experienced by individuals in relation to change. Change entails an unfolding
of experience and a gradual development of skill and sophistication in use of
an innovation. An individual’s concerns can move in developmental progression
from those typical of non-users of an innovation to those associated with
fairly sophisticated use.
Perubahan dalam kontek proses memerlukan
motivasi, persepsi, sikap dan perasaaan yang positif terhadap perubahan,
sehingga inovasi yang berkembang dapat menjadikan organisasi terus tumbuh dan
berkembang dengan dukungan sumberdaya manusia yang sensitive dan tanggap
terhadap perubahan dengan dukungan manajemen organisasi yang mendorong pada
tumbuh dan berkembangnya pembelajaran dalam organisasi (Learning Organization).
Menurut Deal, Meyer&Scott
(www.careo.org,1975) banyak hasil peneliti yang menyimpulkan bahwa
karakteristik struktur organisasi atau lingkungan sekolah berkaitan dengan
adopsi inovasi
“These studies revealed that the school districts more
likely to adopt innovations were those that were wealthy, large, and had
change-oriented leaders. Others have found organizational autonomy,
decentralized authority, staff professionalism, and features of organizational
climate such as openness, trust, and free communication to be correlates of
innovative behavior”.
Dengan demikian peran organisasi sekolah
dalam pengembangan inovasi amat diperlukan, organisasi sekolah yang memiliki
otonomi, pengembangan profesi, iklim organisasi yang baik dapat mempengaruhi
prilaku inovatif dari anggota organisasi ersebut
2.2
Model-model Inovasi Pendidikan.
Para pakar telah banyak yang mengemukakan
tentang model inovasi sebagai kerangka dasar dalam memahami bagaimana suatu
inovasi itu terjadi serta bagaimana melihat kemampuan seseorang untuk menjadi
inovatif, adaptif dan kemudian menyebarkannya pada fihak lain (difusi).
Mmodel-model tersebut meskipun dikembangkan dalam organisasi bisnis, namun pada
dasarnya dapat diadopsi dan atau diadaptasi dalam dunia pendidikan sebagai
suatu organisasi. Lara Catherine Hagenson (2001) mengelompokan model Inovasi ke
dalam model Linier dan Model siklis. Model linier merupakan model yang
melibatkan dimensi tunggal, dan yang termasuk dalam model ini adalah model
Diffusion of Innovations dari Roger, Concerns Based Adoption Model dari Hall
and Hord, serta Model of Epistemic Curiosity Speilberger and Starr
2.2.1
Model Linier
Model difusi inovasi dari Roger memandang proses keputusan
adopsi atau penolakan inovasi sebagai suatu kejadian dalam suatu proses linier
dimana waktu berperan sebagai variable bebas dan proses adopsi terdiri dari
serangkaian tindakan dan pilihan dengan berbasiskan factor internal dalam suatu
system sosial.dalam model ini orang dikelompokan berdasarkan kecepatannya dalam
mengadopsi inovasi dengan lima kelompok adopter yaitu :
1.
Innovators,
2.
Early adopters,
3.
Early majority,
4.
Late majority, dan
5.
Laggards.
Sementara itu Model dari Hall & Hord yaitu Concerns
Based Adoption Model (CBAM) memandang inovasi sebagai pergeseran secara
psikologis dari ciri-ciri inovasi kearah konsern pada penggunaannya. Dalam
model ini pengguna inovasi bergerak dari konsern pribadi (self-concerns),
selanjutnya konsern pada tugas (task-concerns) kemudian berpengaruh pada dampak
konsern (impact-concerns) pada saat seseorang makin berpengalaman dengan
inovasi. Tahapan-tahapan concerns ketika seseorang mengadopasi inovasi menurut
Sherry, Lawyer-Brook, & Black, 1997,(dalam Lara Catherine Hagenson , 2001)
mencakup :
1.
Awareness (little concern
about or involvement with the innovation);
2.
Informational (interest in
learning more details about it);
3.
Personal (concerns about
its demands and their adequacy in meeting them);
4.
Management (processes and
tasks of using the innovation);
5.
Consequence (impact of the
innovation on student outcomes);
6.
Collaboration
(coordination/cooperation with other users); and
7.
Refocusing (altering or
replacing the innovation)
Model of Epistemic Curiosity dari Speilberger & Starr
menggambarkan dua proses yang terdiri dari keresahan (anxiety) dan Keingin
tahuan (curiosity), semakin rendah tingkat kenyamanan pengguna inovasi, semakin
kecil mereka melakukan eksperimen dengan inovasi. Model ini menurut Hagenson
(2001) merupakan model valid yang mengelompokan orang berdasarkan
tingkat-tingkat ketidakpastian (levels of uncertainty) dan menilai orang
berdasarkan prilaku dan kemampuannya untuk mengeksplorasi hal-hal di luar
platform inovatif awal
Selain model linier sebagaimana dikemukakan di atas,
terdapat model linier lain yaitu Model factor organisasi dan belajar
(Organizational and Learning Factor Models). Model ini memandang bahwa banyak
factor yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berinovasi, mengadopsi, dan
malkukan difusi, dan beberapa model yang masuk dalam kategori ini adalah model
analisis adopsi (adoption analysis model) dari Farquhar dan Surry (1994), dan
model belajar terlibat (engaged learning model) dari Jones, Valdez, Nowakowski,
& Rasmussen (1995).sebagaimana dikemukakan oleh Hagenson (2001)
Model analisis adopsi dari Farquhar dan Surry dikembangkan
dengan melihat persepsi pengguna akan inovasi, semakin positif persepsi
pengguna akan suatu inovasi berkaitan dengan karakteristik inovasi sebagaimana
dikemukakan Rogers (yakni : relative advantage, observability, compatibility,
complexity, dan trialability) semakin besar kecenderungan untuk mengadopsi
inovasi. Dalam model ini peran lingkungan fisik orgnisasi dan lingkungan
pendukung dalam hal ketersediaan teknologi terutama internet memegang peran
penting, dan kesuksesan pelaksanaan inovasi tidak hanya memerlukan adopter yang
menggunakan dan mengaplikasikan inovasi, tapi juga memerlukan organisasi yang
menyediakan lingkungan yang kondusif untuk penerapan teknologi baru, mereka
yang mempunyai akses lebih besar pada teknologi serta didukung oleh
keterampilan akan menggunakan teknologi lebih banyak dalam melaksanakan
pengajaran (untuk Guru)
Model Engaged Learning dari Jones, Valdez, Nowakowski,
& Rasmussen merupakan model dengan setting lembaga pendidikan, model ini
melihat inovasi dari sudut gaya belajar dan peran murid di dalam kelas.
Terdapat delapan variable berkaitan dengan indicator engaged learning yaitu :
1.
The teacher’s vision of
learning;
2.
Indicators of engaged
learning;
3.
Ongoing, authentic,
performance-based assessment;
4.
a Constructivist instructional
model responsive to student needs;
5.
The concept of students as
part of a learning community incorporating multiple perspectives;
6.
Collaborative learning;
7.
The co/learner/co-investigator;
8.
The roles of students as cognitive apprentices, peer mentors, and
producers of products that are of real use to themselves and others (Sherry,
Lawyer-Brook, & Black, 1997 dalam Hagenson, 2001).
Dalam model ini visi guru tentang pembelajaran terkait erat
dengan peranannya di kelas dan persepsinya tentang hubungan kurikulum sekolah
dengan standar dari pemerintah, apakah kurikulum yang ada harus diperkaya,
ditingkatkan atau diganti, serta peran yang jelas dari kegiatan pembelajaran
berbasis internet di kelas ((Sherry, Lawyer-Brook, & Black, 1997,dalam
Hagenson, 2001)
Kedua model diatas yakni model analisis adopsi dan model
engaged learning terintegasi dalam model learning/adoption trajectory yang
merupakan model belajar dan keorganisasian (organizational and learning model)
yang amat penting bagi dasar dan proses pembelajaran (Lara Catherine Hagenson ,
2001:19).
2.2.2
Model Siklis
Model siklis ini didasarkan pada pemahaman bahwa suatu
proses belajar yang sedang berjalan lebih merupakan suatu proses siklis. Suatu
siklis adalah serangkaian kejadian yang terjadi secara teratur dan biasanya
membawa kembali ke itik awal (Sherry, et al (2000) dalam Hagenson, 2001:21).
Model siklis ini menurut Hagenson, (2001:22) lebih tepat ketimbang model
linier, dan model ini digunakan untuk membuat versi baru dari model
Learning/Adoption Trajectory. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat
yang menjadi dasar terbentuknya model siklis yaitu pandangan Schein (1996),
Senge (1990), Havelock dan Zlotolow (1997), Engestrom (1996).
Menurut Schein, dari pandangan pengguna, anggota-anggota
suatu organisasi pembelajar mulai mencairkan (unfreeze) persepsi mereka pada
saat mengalami suatu inovasi yang gagal memenuhi pemahaman mereka sebelumnya.
Anggota organisasi kemudian melakukan perubahan dan memfokus ulang proses, dan
kemudian membekukan ulang (refreeze) konsep mereka untuk mencocokan dengan
pengalaman yang sedang dialami mereka. Menurut Sherry, Billig, Tavalin, &
Gibson, (2000) dalam Hagenson (2001:22) model nampak lebih memfokuskan pada
pengguna dan konsepsi mereka tentang membuka ide-ide untuk belajar, mengambil
inovasi, dan kemudian menutupnya dengan konsepsi akan inovasi yang baru
Peter Senge merupakan pakar yang mempopulerkan konsep
organisasi pembelajar (learning organization) dalam bukunya The Fifth
Disciplines (1990). Dalam organisasi pembelajar, anggota organisasi secara
konstan dan secara kolektif memperbaiki kapasitas mereka untuk menciptakan dan
merealisasikan visi. Model organisasi pembelajar ini telah menciptakan suatu
fondasi untuk memahami kapabilitas mengintegrasikan ide-ide baru bagi perbaikan
organisasi.
Sementara itu pandangan Havelock and Zlotolow (1997)
memfokuskan pada peran fasilitator perubahan dalam menggerakan system melalui
enam tahapan perubahan terencana. Mereka berpendapat bahwa semakin besar
perubahan semakin besar kekuatan yang menentangnya, dan untuk mengatasi hal ini
diperlukan banyak saluran difusi yang dapat membawa visi bersama pada seluruh
komunitas. menurut Hagenson (2001:23)
“This model greatly influenced what was needed to
enforce appropriate training and teaching needed to innovate, adopt, and
diffuse successfully. Knowing what is needed, in terms of training and support
for an organization, helps to maintain and may help to diffuse new technologies
to others.
kutipan di atas menunjukan bahwa agar inovasi, adopsi dan
difusi berhasil diperlukan pelatihan dan pengajaran yang tepat, dan hal ini
akan membantu memelihara serta menyebarkan teknologi baru pada fihak lain
Engestrom dengan kerangka teori aktivitasnya (Activity
Theory Framework) mengintegrasikan pengguna, tujuan penggunaan teknologi, hasil
yang diharapkan, komunitas pengguna dengan norma-normanya, konvensi, serta
struktur sosial. Dalam konteks tersebut perubahan merupakan bagian dari system
yang berhembus melalui system keseluruhan, kemudian mempengaruhi tiap-tiap dan
setiap komponen serta pengguna (Sherry, Billig, Tavalin, & Gibson, (2000),
dalam Hagenson, 2001:23)
Model siklis tersebut menjadi dasar bagi terbentuknya model
learning/adoption trajectory, model ini melihat adopsi inovasi sebagai suatu
proses dinamis. Sherry, Billig, & Perry, found that the learning/adoption
trajectory model, (teacher as learner, adoption, teacher as co- learner, and
reaffirmation or rejection), kemudian dalam penelitiannya Sherry, Billig, &
Perry menambahkan satu fase lagi yaitu teacher as a leader (Hagenson, 2001:25).
The cyclical processes of the learning/adoption
trajectory model creating the teacher as leader stage, the fifth stage, but to
break away from linear models (technology is an ongoing process, therefore
acting as a cycle instead of a line) we must start looking at more dynamic
models such as:
the“unfreezing-change-freezing” process described by
Schein (1996)
the circular change model of Havelock and Zlotolow
(1997);
the balancing and reinforcing loops described by Senge
(1990); and
the interaction of users, tools, agency, and the
community of users described by Engestrom’s (1996) Activity Theory framework
(Sherry, et al, 2000, dalam Hagenson, 2001:25)
Masuknya peran guru sebagai pemimpin mendorong pada
pemahaman bahwa guru dapat menentukan dan membuat keputusan tentang suatu
inovasi apakah dilaksanakan atau tidak baik itu bersumber dari luar maupun yang
berseumber dari dirinya sebagai bentuk pemunculan ide-ide baru dalam
meningkatkan kualitas pembelajaran. Dengan demikian nampak bahwa adopsi inovasi
bukan sesuatu yang bersifat linier, dan hal itu mesti dilihat dalam kerangka
model yang dinamis dan interaktif dalam suatu konteks organisasi yang
dasar-dasarnya telah dikemukakan oleh para pakar sebagaimana tersebut di atas
Di samping itu di dalam dunia pendidikan terdapat juga
model spesifik yang dipandang tepat sebagai model inovasi pendidikan (Ibrahim,
1988:177) yang dapat membantu melihat secara lebih sistematis tentang inovasi
pendidikan yang dapat dipertimbangkan untuk diterapkan yaitu:
1.
Model Penelitian, Pengembangan,
dan Difusi (Research - Development - Diffusion Model - RD & D Model).
Model inovasi ini cukup sederhana, tetapi nempunyai
pengaruh yang sangat besar bagi pengembangan pendidikan. Model inovasi ini
berdasarkan pemikiran bahwa etiap orang tentu memerlulkan perubahan, dan unsur
pokok dari perubahan ialah penelitian, pengembangan, dan difusi. Agar
benar-benar diketahui dengan -tepat permasalahan yang dihadapi serta kebutuhan
yang diperlukan, maka langkah pertama yang harus diiakukan dalarr usaha
mengadakan perubahan pendidikan ialah melakukan kegiatan penelitian pendidikan.
Hasil penelitian kemudian dikembangkan ke dalam bentuk yang lebih operasional
agar dapat lebih mudah diterapkan, baru sesudah itu dilakukan difusi inovasi
melalui kegiatan komunikasi melalui berbagai saluran yang memungkinkan dengan
memperhatikan berbagai nilai-nilai sosial yang berlaku di lingkungan dimana
inovasi itu akan diterapkan.
2.
Model pengembangan Organisasi
(Organization Developement Model).
Model ini tebih berarientasi pada organisasi daripada
berorientasi pada sistem sosial. Model ini berpusat pada sekolah atau sistem
persekolahan. Model Pengembangan Organisasi ini berbeda dengan Model
Pengembangan dan Difusi: Model Penelitian Pengembangan dan difusi (RD & D)
lebih tepat digunakan untuk penyebaran inovasi pada tingkat regional atau
nasional, karena penelitian pendidikan lebih tepat jika dilakukan pada tingkat
regional atau nasional. Sedangkan Model Pengembangan Organisasi lebih tepat
digunakan untuk penyebaran inovasi pada suatu sekolah, karena sekolah merupakan
suatu organisasi, Kedua model ini merupakan alat yang digunakan untuk menangani
dua hal yang berbeda, juga untuk memecahkan permasalahan pembaharuan pendidikan
yang berbeda pula. Model Pengembangan Organisasi atau Organization Developement
(OD), juga berorientasi pada nitai yang tinggi artinya, model ini juga
mendasarkan pada filosofi yang menyarankan agar sekolah atau sistem
persekolahan jangan hanya diberi tahu tentang inovasi pendidikan, dan disuruh
menerimanya, tetapi sekolah hendaknya mampu mempersiapkan diri untuk memecahkan
sendiri masalah pendidikan yang dihadapinya. Sekolah harus menjadi organisasi
yang sehat yang memahami persoalan yang dihadapi, dapat merumuskan permasalahan
yang dihadapi, serta mampu untuk menciptakan cara memecahkan permasalahan itu
sendiri dengan mengorganisir berbagai macam sumber yang ada dalam organisasi
itu sendiri atau dengan bantuan ahli dari luar organisasasi, dan juga mampu
menemukan cara bagaimana menerapkan inovasi serta manilai hasil yang telah
dicapai.
3.
Model Konfigurasi (Model
Konfigurasi (Configurational Model = CLER Model).
Model Konfigurasi (Configurasitional Model) atau disebut
juga konfigurasi teori difusi inovasi yang juga terkenal dengan istilah CLER
model, ialah pendekatan secara komprehensif untuk mengembangkan strateai
inovasi (perubahan pendidikan) pada situasi yang berbeda. Ini adalah model umum
atau model komprehensif karena memungkinkan adanya klasifikasi atau
penggolongan dari situasi perubahan. model ini menekankan pada batasan tentang
serangkaian situasi perubahan pada waktu tertentu. Model CLER ini menarik bagi
kedua pihak baik bagi inovator maupun bagi penerima (adopter). Bagi inovator
menggunakan model ini untuk meningkatkan kemungkinan diterimanya inovasi.
Sedangkan bagi penerima inovasi, menggunakan model ini dapat meyakinkan bahwa
inovasi yang diterimanya benar-benar sesuatu yang dibutuhkan. Menurut model
konfigurasi kemungkinan terjadinya difusi inovasi tergantung pada 4 faktor
yaitu:
a.
Konfigurasi artinya menunjukkan
bentuk hubungan inovator dengan penerima dalam kontek sosial atau hubungan dalam
situasi sosial dan politik
b.
Hubungan (linkage) yaitu hubungan
antara para pelaku dalam proses penyebaran inovasi.
c.
Lingkungan: bagaimana keadaan
lingkungan sekitar tempat penyebaran inovasi.
d.
Sumber (resources): sumber apakah
yang tersedia baik bagi inovator maupun penerima dalam proses transisi
penerimaan inovasi.
2.3
Peran Guru dalam Inovasi Pendidikan
Dalam tataran teknis implementasi,
kebijakan yang inovatif dalam bidang pendidikan, pada ahirnya akan sangat ditentukan oleh
kompetensi praktisi pendidikan dalam melaksanakan program/kebijakan tersebut.
Dengan demikian, dalam dunia pendidikan/sekolah, inovasi dan sikap serta
kinerja inovatif dari pendidik dan tenaga keppendidikan sangat diperlukan dan
menentukan bagi keberhasilan adopsi dan implementasi inovasi pendidikan.
Lebih sulitnya adopsi inovasi oleh
Pendidik dibanding oleh Administrator/tenaga kependidikan (House, 1974), tidak
berarti inovasi pendidikan tidak dapat berjalan sama sekali, karakteristik dan
kompetensi guru yang bervariasi, serta iklim organisasi sekolah yang juga
berbeda-beda antar sekolah, memberi kemungkinan akan terjadinya suatu
implementasi inovasi yang baik sesuai dengan kondusifitas karakteristik dan
kompetensi individu serta lingkungan organisasi sekolah yang kondusif terhadap
perubahan. Menurut Dooley (1999) banyak Guru melakukan inovasi namun mereka
kurang melakukan penilaian akan efektivitas dari inovasi tersebut, ini
mengindikasikan bahwa kompetensi guru perlu terus ditingkatkan agar dalam
menghadapi dan menerapkan inovasi dapat mengkajinya secara matang, dan kalau
memang kurang efektif mereka harus berani kembali ke posisi awal, sikap ini
menurut Rogers (1983) merupakan ciri inovator.
Perubahan yang terjadi dalam tataran
struktur tidak akan cukup untuk menjadikan peroses pendidikan di sekolah
berubah dan inovatif, apabila tidak terjadi perubahan dalam sikap Sumber Daya
Pendidikan di dalamnya, dan dalam konteks teknis, tanpa perubahan sikap guru
atas perubahan dan inovasi, sebagaimana dikemukakan oleh Purkey and Smith (1983,www.careo.org)
sebagai berikut :
“change in schools means changing attitudes, norms,
beliefs, and values associated with the school culture. Researchers have found
particular cultural norms that can facilitate school improvement. Norms such as
introspection, collegiality, and a shared sense of purpose or vision combine to
create a culture that supports innovation”.
Dengan demikian perubahan sikap dari SDM
Pendidik, norma, kolegialitas amat diperlukan agar organisasi sekolah dapat
benar-benar berorientasi pada perubahan dan kondusif bagi inovasi pendidikan
Guru mempunyai peran yang menentukan
dalam tataran teknis pendidikan yaitu pembelajaran, perkembangan yang terjadi
di era global dewasa ini sudah tentu perlu diantisipasi melalui kinerja
inovatif dalam menciptakan proses pembelajaran di kelas. Hasil penelitian yang
dilakukan SMASSE INSET (www.adeanet.org, 2005) menyimpulkan bahwa ketidak
efektifan praktek pembelajaran di kelas disebabkan salah satunya oleh faktor
Guru sebagai berikut :
1.
Poor mastery of content,
lack of basic practical skills and innovativeness, poor teaching methods and
generally neutral attitude manifested in theoretical, teacher-centred approach
to teaching, failure to plan their work, missed lessons, lateness and unmarked
exercises in the students’ books.
2.
Generally low morale which
is attributed to poor remuneration, working conditions and unsupportive school
administrators.
Kurangnya penguasaan isi materi
pembelajaran, ketrampilan dan keinovatifan menunjukan mash perlunya upaya
peningkatan kualitas pendidik, ini memerlukan sikap guru positif terhadap
Perubahan dalam melaksanakan tugasnya, proses pembelajaran yang terjadi di
dalam kelas mesti diperbaiki terus menerus, sehingga pola kerja rutin perlu
ditingkatkan menjadi pola kerja yang inovatif sebagai upaya untuk menghadapi
dan mengantisipasi perubahan global yang juga menerpa dunia pendidikan.
Peningkatan kualitas kinerja guru menjadi inovatif akan mendorong pada proses
pembelajaran yang inovatif pula, sehingga para siswa pun akan menjadi orang
yang mampu menyesuaikan diri secara terus menerus dengan lingkungan yang
berubah cepat, kemampuan ini jelas amat penting bagi siswa/output pendidikan
dalam meningkatkan kapabilitas bersaing, kerena “survival in the fast
changing world may well depend on the ability of pupils to develop skills in
adaptation, flexibility, cooperation and imagination” (Whitaker,
1993:5).
Dengan demikian, peran guru dalam
melaksanakan tugasnya perlu memasukan kemampuan inovatif dalam meningkatkan
kualitas pembelajaran, sehinggan hasil pendidikan akan mampu dalam menghadapi
era global yang penuh persaingan. Dengan merujuk pada pendapat Pullias dan
Young, Mannan serta Yelon dan Weinstein, Mulyasa (2005:87) mengidentifikasi
peran guru sebagai berikut, yaitu: Pendidik, Pengajar, Pembimbing, Pelatih,
Penasehat, pembaharu (inovator), model dan teladan, pribadi, peneliti,
pendorong kreativitas, Pembangkit pandangan, Pekerja rutin, Pemindah kemah,
Pembawa cerita, Aktor, Emansipator, Evaluator, Pengawet, dan kulminator.
Masuknya peran innovator di atas menggambarkan bahwa guru tidak cukup hanya
menjalankan tugasnya secara rutin, namun pembaharuan/inovasi menjadi tuntutan
yang harus terus dikembangkan.
Sementara itu menurut Moh Surya
(2004:5-6), tantangan globalisasi dalam tingkatan operasional pendidikan
menuntut peningkatan kualitas profesi guru sebagai pelaku pendidikan yang
berada di front terdepan melalui interaksinya dengan peserta didik. Untuk itu
guru harus profesional dalam menjalankan tugasnya. Dan profesionalisme guru akan
tercermin dalam perwujudan kinerjanya yang secara ideal akan terlihat dalam
lima hal berikut:
1.
Guru yang memiliki semangat juang
yang tinggi disertai kualitas keimanan dan ketaqwaan yang mantap
2.
Guru yang mampu mewujudkan dirinya
dalam keterkaitan dan padanan dengan tuntutan lingkungan dan perkembangan iptek
3.
Guru yang memiliki kualitas
kompetensi pribadi dan profesional yang memadai disertai etos kerja yang kuat
4.
Guru yang memiliki kualitas
kesejahteraan yang memadai
5.
Guru yang kreatif dan berwawasan
masa depan
Menurut Makagiansar (1996) memasuki abad
21 pendidikan akan mengalami pergeseran perubahan paradigma yang meliputi
pergeseran paradigma: (1) dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (2)
dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, (3) dari
citra hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan
kemitraan, (4) dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik)
ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, (5) dari kampanye melawan buta
aksara ke kampanye melawan buta teknologi, budaya, dan komputer, (6) dari
penampilan guru yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, (7) dari
konsentrasi eksklusif pada kompetisi ke orientasi kerja sama. Dengan
memperhatikan pendapat ahli tersebut nampak bahwa pendidikan dihadapkan pada
tantangan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam
menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan yang bersifat kompetitif.
Galbreath, dalam Ani M. Hasan (2003)
mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran yang digunakan pada abad pengetahuan
(globalisasi) adalah pendekatan campuran yaitu perpaduan antara pendekatan
belajar dari guru, belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri sendiri.
Praktek pembelajaran di abad pengetahuan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
·
Guru sebagai fasilitator,
pembimbing, konsultan
·
Guru sebagai kawan belajar
·
Belajar diarahkan oleh siswa
kulum.
·
Belajar secara terbuka, ketat dgn
waktu yang terbatas fleksibel sesuai keperluan
·
Terutama berdasarkan proyek dan
masalah
·
Dunia nyata, dan refleksi prinsip
dan survei
·
Penyelidikan dan perancangan
·
Penemuan dan penciptaan
·
Colaboratif
·
Berfokus pada masyarakat
·
Hasilnya terbuka
·
Keanekaragaman yang kreatif
·
Komputer sebagai peralatan semua
jenis belajar
·
Interaksi multi media yang dinamis
·
Komunikasi tidak terbatas ke
seluruh dunia
·
Unjuk kerja diukur oleh pakar,
penasehat, kawan sebaya dan diri sendiri.
Berdasarkan ciri-ciri di atas dapat
diambil beberapa kesimpulan bahwa; di abad pengetahuan menginginkan paradigma
belajar melalui proyek-proyek dan permasalahan-permasalahan, inkuiri dan
desain, menemukan dan penciptaan. praktik pembelajaran Abad Pengetahuan
memerlukan upaya perubahan/reformasi pembelajaran, melalui cara-cara baru
pembelajaran yang akan lebih efektif. Praktek pembelajaran di Abad Pengetahuan
(Knowledge society) nampaknya lebih sesuai dengan arah yang diinginkan oleh
sistem Pendidikan nasional, meskipun bukan dengan mengganti cara yang positif
yang sudah dijalankan dewasa ini, dan disinilah peran kreativitas guru untuk
melaksanakan kinerja inovatif dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Memang diakui bahwa pada Abad dan
masyarakat Pengetahuan nampaknya praktek pembelajaran cenderung banyak
menggunakan piranti-piranti pengetahuan modern yakni komputer dan
telekomunikasi, namun demikian, Meskipun teknologi informasi dan telekomunikasi
merupakan katalisator yang penting yang membawa kita pada cara pembelajaran di
Abad Pengetahuan, tapi yang perlu menjadi perhatian utama adalah bagaimana
hasilnya dan bukan alatnya. Guru dapat melengkapi pelaksanaan proses
pendidikan/pembelajaran dengan teknologi canggih tanpa sedeikitpun membawa
dampak pada hasil pendidikan yang diperoleh peserta didik, di sini yang penting
adalah bagaimana pelaksanaan peran dan tugas guru dapat memberikan nuansa baru
bagi pengembangan dan peningakatan peroses pendidikan dengan atau tanpa bantuan
teknologi modern, dan ini jelas memerlukan kreativitas dan kinerja inovatif
dari Guru dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan/pembelajaran tersebut.
Berdasarkan gambaran pembelajan di abad
pengetahuan di atas, nampak bahwa pentingnya pengembangan profesi guru dalam
menghadapi berbagai tantangan ini, maka pengembangan Profesionalisme Guru
merupakan suatu keharusan, sehingga dengan berlakunya UU No 14 tahun 2005 dapat
dipandang sebagai upaya untuk lebih meningkatkan profesionalisme pendidik serta
memposisikan profesi pendidik/guru dalam status terhormat dan setara dengan
profesi lainnya. Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada
penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi
penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar
pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan
profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan
yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Tuntutan profesionalisme guru memerlukan
upaya untuk terus mengembangkan sikap profesional, melalui peningkatan kapasits
guru agar makin mampu mengembangkan profesinya dalam menjalankan tugarnya di
sekolah. Menurut Roland S. Barth (1990:49)
”The crux of teachers’ professional growth, I feel, is
the development of a capacity to observe and analyze the consequences for
students of different teaching behaviour and materials, and to learn to make
continous modification of teaching on the basis of cues student convey”
Pengembangan kemampuan untuk terus
melakukan modifikasi dalam pembelajaran menuntut pada pengembangan profesional
guru yang terus menerus, serta kinerja inovatif, sehinggan guru dapat berperan
sebagai agen pembelajar dalam konteks pelaksanaaan tugasnya di sekolah.
Pengembangan ini mensyaratkan perlunya guru punya kualifikasi dan kompetensi
yang dapat menunjang proses tersebut, serta didukung oleh situasi organisasi
sekolah yang kondusif, sehinggan pengembangan tersebut tidak hanya berdimensi
pribadi guru itu sendiri namun juga di dukung oleh manajemen yang kuat dan
kondusif bagi pengembangan profesi tersebut serta bagi tumbuhnya iklim inovasi
dalam proses pendidikan di sekolah.
2.4
Kinerja inovatif Guru
Kinerja seseorang akan nampak pada situasi
dan kondisi kerja sehari-hari. Kinerja dapat dilihat dalam aspek ciri-ciri
kegiatan dalam menjalankan tugas dan cara melaksanakan melaksanakan
kegiatan/tugas tersebut. Dalam aplikasi prinsip kualitas, produk (barang atau
jasa) dapat dilihat dari sudut ciri-ciri (kondisi/keadaan) dan kualitas seperti
yang dikemukakan oleh Robert (1995:21) sebagai berikut:
“In the application of quality principles, it is
important to distinguish between the concept of features and quality. Features
are what you put into the product to distinguish it from other product and to
appeal the people for whom the product is intended. …… quality, on the other
hand, has to do with the way the feature are dilivered”
dengan mengacu pada pendapat di atas,
maka yang dimaksud kinerja inovatif (Innovative Performance) adalah kinerja
yang dalam melaksanakannya disertai dengan keinovatifan, ciri kinerja atau
tugas-tugas yang harus dikerjakan menggambarkan ciri/feature kinerja, sedangkan
keinovatifan merupakan sifat atau kualitas bagaimana pelaksanaan tugas/kinerja
dijalankan dengan inovatif atau dengan memanfaatkan serta mengaplikasikan
hal-hal baru, baik berupa ide, metode, maupun produk baru dalam meningkatkan
kinerja.
Kinerja inovatif bagi guru perlu di
dorong, dengan mengingat berbagai tuntutan perubahan yang makin meningkat,
menurut Liikanen (2004) “To improve productivity we need to address the key
issues of innovative performance, the application of new technologies,
reengeneering organisations and developing the necessary skills”.
Penerapapan teknologi baru, rekayasa organisasi serta pengembangan keterampilan
dapat menjadi cerminan dari kinerja inovatif, yang dalam konteks individu
sekaligus juga menggambarkan kreativitas individu itu sendiri dalam menjalankan
peran dan tugasnya, yang dalam konteks pendidikan berarti pelaksanaan peran dan
tugas guru secara kreatif.
Kegiatan/Aktivitas-aktivitas yang
dilakukan oleh seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya menggambarkan
bagaimana ia berusaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pada dasarnya
Kinerja adalah akumulasi dari tiga elemen yang saling berkaitan yaitu
keterampilan, upaya, dan sifat-sifat keadaan eksternal. Keterampilan dasar yang
dibawa seseorang ke tempat pekerjaan dapat berupa pengetahuan, kemampuan,
kecakapan interpersonal dan kecakapan teknis. Berdasarkan uraian di atas dapat
dijelaskan bahwa kinerja merupakan prestasi kerja, yakni hasil yang ditunjukkan
dari perilaku. Prestasi kerja tersebut ditentukan oleh interaksi seseorang
terhadap kemampuannya bekerja. Persoalan tersebut jelas menuntut adanya wawasan
pengetahuan yang memadai tentang program kerja secara menyeluruh.
Dengan pemahaman mengenai konsep kinerja
sebagaimana dikemukakan di atas, maka akan nampak jelas apa yang dimaksud
dengan kinerja guru. Kinerja guru pada dasarnya merupakan kegiatan guru dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pengajar dan pendidik di
sekolah yang dapat menggambarkan mengenai prestasi kerjanya dalam melaksanakan
semua itu, dan hal ini jelas bahwa pekerjaan sebagai guru tidak bisa dilakukan
oleh sembarang orang, tanpa memiliki keahlian dan kwalifikasi tertentu sebagai
guru.
Uraian di atas menunjukan betapa besar
peranan kinerja seorang guru dalam upaya mencapai proses belajar mengajar yang
efektif dan fungsional bagi kehidupan seorang siswa. Sehubunagn dengan hal
tersebut perlu dikaji berbagai faktor yang mungkin turut mempengaruhi kinerja
seorang guru.
Seperti disebutkan terdahulu bahwa
sekolah sebagai suatu organisasi di dalamnya terdapat kerja sama kelompok orang
(kepala sekolah, guru, Staf dan siswa) yang secara bersama-sama ingin mencapai
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Semua komponen yang ada di sekolah
merupakan bagian yang integral, artinya walaupun dalam kegiatannya melakukan
pekerjaan sesuai dengan fungsi masing-masing tetapi secara keseluruhan
pekerjaan mereka diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi sekolah.
Seorang mau menerima sebuah pekerjaan,
jika ia mempersiapkan bahwa ia mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugas
tersebut sesuai dengan yang ditetapkan tata tertib sekolah. Pada hakikatnya
kinerja guru adalah prilaku yang dihasilkan seorang guru dalam melaksanakan
tugasnya sebagai pendidik dan pengajar ketika mengajar di depan kelas, sesuai
dengan kriteria tertentu.
Tanpa mengurangi dan meniadakan peran
serta fungsi yang lain, kinerja guru merupakan salah satu faktor yang memegang
peranan penting dalam keberhasilan pendidikan. Karena apapun tujuan-tujuan dan
putusan-putusan penting tentang pendidikan yang dibuat oleh para pembuat
kebijakan sebenarnya dilaksanakan dalam situasi belajar mengajar di kelas
(Sumantri Manaf, 1988:106).
Di samping itu, pengajaran yang
menghasilkan peserta didik memperoleh pengalaman belajar dengan baik bukanlah
sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Belajar tidak tejadi karena adanya ilmu
yang dimiliki oleh seorang guru yang baik, melainkan dapat terjadi karena para
guru yang berhasil baik memiliki kemampuan tentang dasar-dasar mengajar dengan
baik. Kinerja adalah aktivitas atau perilaku yang dilaksanakan oleh guru dalam
melaksanakan tugas/pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Kinerja guru merupakan
suatu hal yang essensial terhadap keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu
kinerja guru yang baik perlu diciptakan sehingga tujuan pendidikan dapat
tercapai dengan optimal. Agar kinerja guru dapat tercipta dengan baik maka guru
perlu mengetahui tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya.
Guru merupakan pekerjaan yang memerlukan
keahlian khusus sebagai guru. Jenis pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh
sembarang orang di luar bidang kependidikan. Tugas guru sebagai profesi
meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mengajar berarti meneruskan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti
mengembangkan keterampilan yang diperlukan oleh masyarakat lingkungannya dalam
menyelesaikan aneka ragam permasalahan yang dihadapi masyarakat. Dalam
melaksanakan tugas tersebut, dengan mengingat tantangan pendidikan yang terus
berubah, maka kenerja guru perlu dilakukan secara inovatif
Seorang guru hendaknya berperilaku yang
mempunyai pola interaksi di dalam proses belajar secara efektif, apabila mereka
memiliki keinginan untuk memahami peserta didik sesuai dengan kebutuhannya.
Kemampuan berinteraksi dari guru tidak akan berarti apa-apa seandainya mereka
memiliki motivasi yang rendah, terhadap penyesuaian dengan lingkungan, baik
terhadap kebijakan dan tujuan atau strategi pengajaran tersebut..
Dengan mengingat bahwa keadaan lingkungan
tidak mudah terkontrol, maka seorang guru harus terbuka, penuh dengan
pertimbangan, mampu mendengar, dan bijaksana. Menyikapi hal tersebut maka guru
senantiasa mampu memodifikasi perilaku terhadap tuntutan yang ada atau timbul,
terutama dalam proses belajar mengajar, ke arah pemberian harapan yang positif
untuk peningkatan motivasi belajar.
Seperti dijelaskan di atas, tugas guru
dalam meningkatkan mutu serta produktifitas tidak dapat terpisahkan dari
keseluruhan tugas dalam operasionalisasi pendidikan di sekolah. Dengan
demikian, keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan tidaklah hanya menggantungkan
diri pada usaha pemberian program pengajaran semata-mata. Program tersebut
perlu didukung oleh motivasi, system pengelolaan, administrasi dan supervisi
pendidikan. Dan sehubungan dengan hal tersebut, penyelenggaraan proses
pendidikan dapat mencapai hasil yang optimal bila perhatian pimpinan lebih
banyak dipusatkan kepada guru. Guru dalam hal ini hanya merupakan pelaksana
operasionalisasi program pendidikan, namun demikian dalam berkinerja, guru
dapat mengembangkan inovasi dalam melaksanakan tugasnya, ini berarti kinerja
inovatif merupakan hal yang penting.
Pihak manapun mengakui bahwa di dalam
sistem persekolahan, kurikulum, sarana dan prasarana merupakan faktor-faktor
penting yang tidak bisa kita abaikan dalam suatu proses
pendidikan/pembelajaran. Akan tetapi tanpa kehadiran guru yang bermutu,
inovatif, berdedikasi tinggi dan berwibawa, semua yang tersebut di atas
tidaklah berarti banyak.
Sementara itu tugas/kewajiban Guru
menurut Undang-Undang No 14 tahun 2005 pasal 20 adalah sebagai berikut:
1.
Merencanakan pembelajaran,
melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi
hasil pembelajaran
2.
Meningkatkan dan mengembangkan
kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
3.
Bertindak objektif dan tidak
diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, atau latar belakang
keluarga dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran
4.
Menjunjung tinggi peraturan
perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan
etika; dan
5.
Memelihara dan memupuk persatuan
dan kesatuan bangsa.
Kutipan Undang-undang tersebut menunjukan
bahwa kewajiban guru pada dsarnya merupakan kegiatan yang harus dilakukan guru
dalam menjalankan peran dan tugasnya di sekolah, dimana aspek pembelajaran
merupakan hal yang utama yang harus dilaksanakan oleh guru, yang berarti
menunjukan kinerja yang harus dilakukan oleh guru di sekolah. Dalam konteks
tersebut maka kinerja inovatif guru merupakan kinerja guru dalam melaksanakan
tugas dan kewajibannya sebagai pendidik dengan selalu berupaya mengembangkan
dan menerapkan hal-hal baru dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan,
yang didasari dengan sikap kreatif dan terbuka terhadap perubahan
Dengan demikian, upaya mengembangkan cara
baru baik pada tataran institusi, manajerial dan operasional, jelas akan
menentukan keberhasilan pelaksanaan setiap program pendidikan secara inovatif,
terlebih lagi dalam situasi perubahan yang sangat cepat, meskipun begitu
diperlukan kepemimpinan Kepala Sekolah yang inovatif dan juga motivasi dari
guru sendiri dalam melaksanakan kewajibannya. Kepemimpinan Kepala Sekolah
mutlak diperlukan dalam memimpin organisasi bekerja, karena sikap kepemimpinan
kepala Sekolah dapat mempengaruhi kinerja guru. Pada akhirnya kelak kinerja
guru dapat ditingkatkan dan pencapaian tujuan pendidikan dapat dengan mudah
terlaksana dengan karakteristik yang antisipatif dan proaktif terhadap
perubahan, sehingga terwujudnya manusia cerdas komprehensif dan kompetitif
sebagai dampak dari kinerja inovatif guru akan dapat benar-benar terwujud
sebagai hasil dari suatu proses pendidikan/pembelajaran dalam bingkai
organisasi yang inovatif yang didukung oleh seluruh SDM Pendidikan yang
kreatif..
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahas diatas penulis dapat
menyimpulkan bahwa inovasi pendidikan secara sederhana
dapat dimaknai sebagai inovasi dalam bidang pendidikan. Menurut Ibrahim, (1988
: 51) inovasi pendidikan ialah suatu ide, barang, metode, yang dirasakan atau
diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat)
baik berupa hasil invensi atau discovery, yang digunakan untuk mencapai tujuan
pendidikan atau memecahkan masalah pendidikan.
Galbreath, dalam Ani M. Hasan (2003) mengemukakan bahwa
pendekatan pembelajaran yang digunakan pada abad pengetahuan (globalisasi)
adalah pendekatan campuran yaitu perpaduan antara pendekatan belajar dari guru,
belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri sendiri.
Lara Catherine Hagenson (2001)
mengelompokan model Inovasi ke dalam model Linier dan Model siklis. Model
linier merupakan model yang melibatkan dimensi tunggal, dan yang termasuk dalam
model ini adalah model Diffusion of Innovations dari Roger, Concerns Based
Adoption Model dari Hall and Hord, serta Model of Epistemic Curiosity
Speilberger and Starr
Dalam tataran teknis implementasi, kebijakan yang inovatif
dalam bidang pendidikan, pada ahirnya akan sangat ditentukan oleh kompetensi praktisi pendidikan
dalam melaksanakan program/kebijakan tersebut..
Kinerja seseorang akan nampak pada situasi dan kondisi
kerja sehari-hari. Kinerja dapat dilihat dalam aspek ciri-ciri kegiatan dalam
menjalankan tugas dan cara melaksanakan melaksanakan kegiatan/tugas tersebut.
Uraian di atas menunjukan betapa besar
peranan kinerja seorang guru dalam upaya mencapai proses belajar mengajar yang
efektif dan fungsional bagi kehidupan seorang siswa. Sehubunagn dengan hal
tersebut perlu dikaji berbagai faktor yang mungkin turut mempengaruhi kinerja
seorang guru.
3.2 Saran
Bagi para pembaca dan teman-teman mahasiswa yang lainnya, jika ingin menambah wawasan dan ingin mengetahui lebih jauh, maka penulis harapkan denganr rendah hati, agar lebih membaca buku-buku lainnya yang berkaiatan dengan judul “Inovasi Pendidikan”
untuk dapat file MS WORD silahkan klik DISINI
0 comments:
Post a Comment